Sunday, July 4, 2010

SECERCAH HARAPAN PAGI HARI

Bel berdentang,…

Tidak seperti biasanya; saat bel berdentang pagi pukul 08.00, kami biasanya berjalan teratur masuk ke ruang studi untuk kuliah, tapi pagi itu kami masih kasak-kusuk di dalam ruangan kamar masing-masing. Hal ini di karenakan kami sedang berkemas-kemas mempersiapkan perlengkapan pakaian yang akan kami pakai selama kegiatan yang akan berlangsung selama tiga hari. Kegiatan ini di namai “Gladi Tangguh” oleh pembimbing dan prakarsa kegiatan ini Bapak Edmund Umpun. Disebut Gladi Tangguh karena kami akan berjalan kaki melewati rute-rute yang telah ditentukan dengan jarak kurang lebih 45 km guna melatih fisik sekaligus berpastoral dengan umat-umat di stasi/daerah yang kami tuju.



Ada keraguan dalam hati aku “Apakah aku mampu berjalan sejauh itu?” ujar aku dalam hati. Sudah lama aku tidak melakukan berjalan kaki sejauh itu. Aku pernah berjalan kaki waktu kira-kira 8 tahun yang lalu dimana saat itu aku dalam proses ‘pendadaran’ (=latihan fisik) dalam organisasi THS-THM (Olah raga silat bernafaskan Imam Katolik). Walaupun demikian aku meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa, apalagi selama di pembinaan ini kami sudah dilatih untuk berjalan kaki ke Rurukan sejauh 9 km pergi-pulang (ke Rurukan untuk mengambil sayur-sayuran). Ditambah lagi kami berjalan kaki waktu kegiatan Triduum Advent di Desa Lemoh dengan jarak kurang lebih 25 km, membuat aku meyakinkan diri pasti bisa menjalaninya.

Rute-rute yang akan kami lalui yaitu dimulai dari Tompaso 1 – Langowan – Kawatak – Noongan – Ratahan – Rasi – Liwutung – Mundung – Tombatu. Dimana kami akan singgah dan bersitirahat sejenak di setiap Gereja stasi yang akan kami lewati sekaligus perkenalan dengan umat dan sosialisasi tentang Seminarium Augustinianum Tomohon.

Kami berjalan teratur dengan barisan yang teratur menuju rute-rute yang telah ditentukan. Walaupun perjalanan yang sangat panjang dan berat sekaligus melelahkan, namun kami menikmatinya karena banyak melihat tempat-tempat baru yang bisa aku lihat. Dalam perjalananku melewati desa-desa dengan hamparan sawah yang luas dan hijau serta pekebunan yang luas yang di penuhi dengan pohon-pohon yang besar sangat menyejukkan hati, gereja-gereja dari setiap stasi yang kami singgahi. Saat siang dan sore hari merupakan tantangan terberat dalam perjalanan kami ini, karena saat itu sinar sang surya tepat berada di atas kepala kami. Cahayanya yang kemilau sungguh sangat menyengat kulit, keringat pun mengucur membasahi badan, dengan kaki yang sakit, dan telapak kaki yang melupuh terasa serta terasa perih kucoba terus berjalan mengikuti ritme langkah kaki teman-teman lainnya agar aku tak tertinggal. Dengan semangat kebersamaan yang ada kami terus melanjutkan dari daerah satu ke daerah lainnya.


Saat itu kami berada di Desa Noongan,
(Desa Noongan merupakan kali kedua aku datangi saat itu kami mendapat tugas dari Sr. Konda, OSU mencari informasi tentang Rumah Sakit Umum setempat. Noongan terkenal dengan pohon-pohon ‘Den’-nya, hawa yang sejuk dan udaranya yang dingin)
aku sempat putus sanksi bisa melanjutkan perjalanan ini. Malam itu badan aku sudah terasa sakit semua, flu yang berat membuat aku menjadi sakit kepala dan demam. Sehingga tubuh saya yang lemah ini tidak mengijinkan untuk berlama-lama ngobrol dengan teman-temanku dan aku pun segera beristirahat. Saat doa malam aku memohon kepada Tuhan agar aku di beri kekuatan serta kesehatan agar aku dapat melanjutkan perjalanan pada esok hari. Beralaskan bangku yang ada di Gereja ku berbaring dan mataku pun mulai terkatup dan tertidurku dengan lelap. Syukur kepada Allah kondisi badanku dapat segara pulih, sehinga dapat melanjutkan perjalanan ke Ratahan.

Saat-saat menyenangkan sekaligus mengharukan yakni saat kebersamaan dengan umat di setiap stasi yang kami lewati. Saat perjumpaan dengan umat dimana kami disambut dengan penuh senyuman yang ramah, seolah kedatangan kami sudah sangat dinantikan. Sapaan yang hangat saat perkenalan dengan umat membuat suasana menajadi lebih hangat. Dari pecakapan dengan umat di beberapa stasi yang aku singgahi, membuatku kaget akan kenyataan yang aku dengar. Ternyata, oh…. ternyata umat di stasi-stasi yang kami kunjungi, hanya mendapat pelayanan sakramen sebulan sekali bahkan terkadang hingga dua bulan, ini tergantung dari ada tidaknya kesempatan atau waktu dari imam atau frater. Memang seh,.. umat yang berada di stasi-stasi ini tidak terlalu banyak, kebutuhan terhadapa pelayanan sakramental sama besarnya dengan umat yang berada di kota-kota besar. Kurangnya imam menjadi faktor utama, sehingga umat di stasi yang bisa di kategorikan diaspora ini tidak mendapat pelayanan sakramental sebagaimana mestinya. Pantas saja, umat waktu menyambut kami di setiap stasi, bagaikan melihat secercah harapan mentari pagi.

Saat perpisahan pun demikian mengharukan lambaian tangan tanda perpisahaan, seolah-olah tersirat makna pengharapan; seakan ingin berkata “
Teruslah berjuang dan tetaplah semangat dalam menapaki jalan yang menjadi tujuanmu. Kerinduan dan harapan kami akan seorang imam kami titipkan padamu. Kami akan sabar menunggumu dan terus mendukungmu lewat doa-doa, sembari menantikan kedatanganmu kembali dengan jubah putih.”

Ya Tuhan, terima kasih atas pengalaman indah yang aku alami ini. Aku sadar perjalanan pangilanku ini masih panjang dan penuh liku. Dan aku pun tahu bahwa banyak yang Engkau panggil sebagai ‘pekerja’ untuk tuaian-Mu tapi sedikit yang terpilih. Tapi aku berharap bersama serta harapan dari umat-Mu, aku adalah orang yang terpilih itu untuk menjadi cahaya-Mu di bumi, agar dapat menjadi saluran rahmat bagi umatMu. Semoga aku dapat menjawab pangilan-Mu dan harapan dari umat-Mu. Tuntunlah dan ubahlah aku seturut kehendak-Mu agar ku layak dan pantas menjadi bagian dari cahaya-Mu yang menyinari dunia ini dengan kasih. Amin.

No comments:

Post a Comment